Penulis: Tuti Susilawati
KARAWANG |NETIZENNEWS.CLICK | Pemerintah terus berupaya menekan konsumsi rokok oleh masyarakat, tiap tahun cukai rokok terus bertambah diikuti kenaikan harga jual rokok dipasaran, selain untuk meningkatkan pendapatan negara, hal ini juga bertujuan untuk menekan tingkat konsumsi di masyarakat terutama pada anak – anak dan remaja serta masyarakat status ekonomi menengah bawah dan miskin agar tidak dapat menjangkaunya.
Kementrian Keuangan memutuskan menaikan tarif cukai mulai tanggal 1 januari 2023, aturan mengenai kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT ) ini tertuang dalam peraturan menteri keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010/2022 Tentang perubahan Atas PMK Nomor 193/PMK.010/2021 Tentang tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau lainnya.
Kenaikan tarif CHT rata- rata sebesar 10 persen mulai tahun 2023 dan 2024, tarif tersebut ditujukan untuk sigaret kretek mesin (SKM) 1 dan 2 rata-rata naik 11.5 -11.75 persen , sigaret putih mesin (SPM) 1 dan 2 meningkat 11.8 hingga 12persen, sedangkan sigaret kretek Tangan (SKT) 1.2 dan 3 naik sebesar 5 persen sementara ,cukai rokok electric akan naik 15 persen dan 6 persen untuk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) berlaku kenaikan setiap tahun sejak 2023 hingga 2028.
Cukai rokok menjadi amanah undang-undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan Undang-undang No 15 tahun 1995 tentang cukai sebagai instrumen fiskal pengendalian konsumsi produk yang membahayakan masyarakat , termasuk produk tembakau. UU tersebut menetapkan cukai rokok maksimal hingga 57 persen dari harga eceran, saat ini tarif cukai untuk produk sigaret kretek mesin (SKM) sudah mencapai 51 persen dari harga jual yang ditetapkan, meskipun cukai untuk sigaret kretek tangan (SKT) masih 10-30 persen
Wakil menteri keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengatakan penetapan kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau dan harga jual eceran selalu mempertimbangkan empat aspek penting. Yaitu:
Aspek pertimbangan pertama adalah pengendalian konsumsi yang memiliki kaitan dengan kesehatan, pengenaan cukai ditujukan sebagai upaya pengendalian konsumsi rokok sebagaimana yang diamanatkan undang- undang Cukai, kebijakan tersebut merupakan bagian dari Rencana Pembangunan jangka menengah (RPJMN) 2020-2024 untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penurunan konsumsi merokok, khususnya usia anak- anak dan remaja yang ditargetkan menjadi 8.7 persen ditahun 2024 ini, selain itu penekanan kenaikan cukai juga ditujukan untuk menurunkan konsumsi rokok di kelompok rentan yaitu masyarakat menengah bawah dan miskin agar tidak mampu menjangkaunya.
Efektifitas kenaikan cukai rokok dalam pengendalian konsumsi oleh anak turun dari 9,1 persen menjadi 7,4 persen dari jumlah perokok di indonesia, penurunan prevalensi perokok anak mencapai 1.7 persen dan secara total menunjukan penurunan konsumsi rokok 2,9 persen hingga 6,7 persen di masyarakat.
dari survei kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 menunjukan prevalensi perokok pada kelompok umur 10-18 tahun sebesar 7,4 persen dari total 70 juta jumlah perokok di indonesia, dan 4,6 persen diantaranya merokok setiap hari dan 2,8 persen merokok kadang- kadang.
Dari data survei tersebut prevalensi perokok masih menunjukan pola piramida yaitu jumlah terbesar pada status ekonomi terbawah , menengah bawah diikuti status ekonomi menengah, menengah atas dan atas
kondisi ini menggambarkan bahwa tingkat keterjangkauan harga rokok dipasaran masih rendah dan masih dapat dijangkau oleh anak-anak, remaja dan kelompok rentan ( masyarakat miskin).
Aspek kedua adalah aspek produksi yang berkaitan dengan keberlangsungan penyerapan tenaga kerja, kebijakan cukai juga mempertimbangkan dampak terhadap petani tembakau, pekerja perusahaan rokok dan industri hasil tembakau secara keseluruhan, yang berhubungan dengan penyerapan tenaga kerja dan dapat mengurangi angka pengangguran.
aspek ketiga adalah terkait penerimaan negara, kebijakan cukai mendukung program pembangunan Nasional dari semua bidang melalui kenaikan penerimaan negara, sehingga pada tahun 2021 tercatat penerimaan negara dari cukai sangat besar mencapai Rp 188.8 Triliun
Kemudian aspek ke 4 yaitu terkait pengawasan barang kena cukai (BKC) Legal, semakin tinggi cukai rokok maka semakin tinggi kemungkinan rokok ilegal yang beredar di negara kita.
penting dilakukan pengawasan secara terus menerus dan berkelanjutan terhadap peredaran rokok dan hasil tembakau ilegal ini, karena rokok ilegal ini diproduksi secara tidak benar dan tidak memakai pita cukai atau memakai pita cuka tidak sesuai kategori.
Dana hasil kenaikan cukai dianggap sebagai penerimaan negara yang berpotensi difokuskan pada upaya perbaikan kesehatan masyarakat, seperti pembangunan dan perbaikan puskesmas, posyandu, upaya percepatan penanganan stunting, perbaikan gizi anak-anak dan balita serta peningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat menengah bawah (termasuk petani miskin dan buruh).
Namun selain dampak positif dari 4 aspek tersebut diatas, terdapat dampak negatif kenaikan tarif cukai ke emiten rokok yaitu
1. Mempersulit perusahan mencetak laba bersih dikarenakan tarif cukai yang tinggi merupakan beban besar bagi perusahaan atau emiten rokok
2. kesulitan meneruskan kenaikan beban cukai ke harga jual rokok /produk tembakau lainnya karena para pembeli rokok akan beralih ke rokok ilegal yang lebih murah harganya
3. turunnya nilai saham emiten rokok
Terlepas dari kerugian tersebut, bahwa tingginya angka konsumsi rokok sangat terkait erat dengan tingkat kesehatan dan penyakit yang ditimbulkan akibat rokok, yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi negara yang besar terkait pembiayaan BPJS kesehatan untuk menangani penyakit-penyakit berat dampak dari konsumsi rokok.